BATAMCLICK.COM: Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Sirajudin Nur, mengatakan problem pendidikan di Kepri tak hanya soal PPDB yang menjadi masalah tahunan, namun soal kualitas belum merata.
“Problem kita di Kepri, pertama menyangkut kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan ini disebabkan satu, sarana dan prasrana belum merata. Disparitas pendidikan antara kabupaten/kota, desa/kota cukup tinggi,” ujarnya menjelaskan saat berdiskusi dengan Tim POSMETRO.
Dijelaskan Sirajuddin, Batam yang dinilai paling maju di Kepri. “Kita maklumi sarana sudah cukup baik. Kualitas juga. Tapi bagaimana dengan daerah-daerah lain yang masih terbatas secara kuantitas sarana. Maka kuncinya untuk peningkatan pendidikan adalah pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan, termasuk guru atau tenaga pendidik. Ini yang selalu kita kejar di Komisi Empat. Pemerintah belum punya cetak biru tentang pemerataan pendidikan,” paparnya melanjutkan.
Sirajuddin mengatakan, saat ini pemrintah Kepri baru memampu melaksanakan kegiatan dengan pendekatan kebutuhan yang mendesak. “Misalnya, banyak anak yang tidak tertampung di (sekolah) negri, langkah yang diambil pemerintah membangun RKB. Ini tidak menyelesaikan masalah,” lanjutnya lagi.
Menurut Sirajuddin, kalau semua sekolah negri dan swasa mutu pendidikannya sama, kemungkinan penumpukan pendaftaran anak ke sekolah tertentu tidak terjadi lagi. “Karena masyarakat tahu, sekolah yang pendidikannya bagus cuma ada beberapa. Ini urusan dengan politicall will. Dengan dorongan DPRD, masyarkat, dan pers, karena tanpa pers sulit menangkap dinamika masyarakat. Pers adalah salah satu penyambung lidah rakyat,” tuturnya menambahkan.
Masalah kualitas pendidikan ini, menurut Sirajuddin memang terkadang miris. Anak-anak di hinterland mungkin contohnya. Belum lagi soal kualitas pengajar mungkin tidak seperti di maindland.
“Saya kira ini menyangkut distribusi guru dan tenada pendidik yang berimbang. Guru yang punya kualitas sudah terbukti mampu mengembangkan sekolah, ini bisa dilakukan penyegaran. Solusinya ini cuma di regulasi. Batasi masa waktu jabatan kepala sekolah. Pertama melalui Peraturan Gubernur, membatasi masabakti kepala sekolah, paling lama enam tahun. Kemudian masa bakti guru dan pendidik yang berpotensi.
Ini perlsoalaan rigulasi. Kalau ada regulasi mau tak mau harus diikuti. Tapi selama ini tak adiatur, mereka (tenga pendidik) punya kesempatan untuk mempertahankan dengan berbagai cara. Karena aturan belum ada yang tegas,” ujarnya menjelaskan.***