BATAMCLICK.COM: Masjid l Agung Batam, Batancenter, kini sudah menemukan namanya yang pas. Yakni, “Masjid Agung Raja Hamidah Kota Batam”.
Awalnya ini berangkat dari ide Wali Kota Batam H Muhammad Rudi (HMR), yang melihat Masjid Agung Batam sudah lama tak memiliki nama.

Usulan tersebut disambut para tokoh masyarakat dan tokoh agama Kota Batam. Hingga muncul nama Raja Hamidah, yang juga dikenal sebagai Engku Putri.
Usulan ini diajukan berdasarkan beberapa pertimbangan:

- Pertimbangan Syar’i: Dalam syariat Islam, dibolehkan memberikan nama masjid dengan nama tokoh wanita, asalkan tokoh tersebut memiliki jasa besar bagi agama Islam danmasyarakat. Contoh masjid yang dinamai dengan tokoh wanita adalah Masjid Aisyah di Tan’im, Mekkah, dan Masjid Zainab di Mesir. Berdasarkan hal ini, nama Raja Hamidah sangat layak untuk diabadikan sebagai nama masjid.
- Pertimbangan Geografis: Masjid Agung Batam terletak di Jalan Engku Putri, yang
merupakan nama lain dari Raja Hamidah. Hal ini memiliki nilai keterkaitan simbolis antara nama jalan dan nama masjid. - Pertimbangan Historis: Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah atau dikenal dengan sebutan Engku Putri adalah permaisuri Sultan Mahmud Riayat Syah, salah satu tokoh besar dalam Kesultanan Riau-Lingga.
Perannya sangat signifikan dalam sejarah kesultanan, sehingga pemberian nama masjid ini menjadi bentuk penghormatan terhadap jasa beliau.
- Pertimbangan Sinergis: Di Kota Batam sudah terdapat Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah, sehingga pemberian nama Masjid Agung Raja Hamidah diharapkan dapat menciptakan sinergi yang baik. Dengan demikian, di Kota Batam akan ada dua masjid yang merepresentasikan tokoh yang berpasangan dalam sejarah Kesultanan Riau-Lingga.
- Pertimbangan Filosofis Makna. Jika ditulis dalam bahasa Arab, nama Raja Hamidah berbentuk رجا . .رجا .م ةا berarti penuh harap kepada Allah, sedangkan م ةا berarti orang yang selalu memuji Allah.
Raja Hamidah

Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah atau dikenal dengan sebutan Engku Putri adalah permaisuri Sultan Mahmud Riayat Syah.
Pada pernikahannya, Sultan Mahmud memberikan Pulau Penyengat kepada Engku Putri. Selain itu pada Engku Putri juga diamanahkan “Regalia” yaitu seperangkat alat–alat kebesaran kerajaan yang terdiri dari : Sebuah Cogan, Tepak Sirih, Ketor, Keris panjang, dan Nobat. “Regelia” digunakan untuk penobatan atau pengangkatan Sultan. Hal ini disebabkan Engku Putri dipandang sebagai tokoh perempuan yang memegang teguh adat istiadat kerajaan.
Kemangkatan Sultan Mahmud Riayat Syah pada tahun 1812, menimbulkan riak politik dalam kerajaan Riau – Lingga – Johor – Pahang. Hal ini disebabkan oleh campur tangan pihak Inggis dan Belanda dalam mensponsori anak – anak Sultan Mahmud dalam suksesi pengganti Sultan.
Sultan Abdurrahman dianggap pengganti yang sah atas jabatan Sultan dan telah dilantik sebgagai pengganti, pada kesempatan yang sama Tengku Husin Long yang kala ayahndanya mangkat sedang berada di Pahang harus menerima keputusan dengan kekecewaan. Hal ini membuat pihak Inggris yang ingin menguasai wilayah kerajaan memanfaatkan momen ini dengan mensponsori Tengku Husin Long sebagai Sultan.
Pada kesempatan yang sama, pengangkatan Sultan tentunya harus mendapatkan legitimasi dengan menggunakan alat- alat kebesaran yang berada di tangan Engku Putri.
Engku Putri yang sebelumnya ingin merestui Tengku Husin mengabaikan niatnya karena tersinggung dengan pihak inggris karena ingin menyogoknya untuk menyerahkan “regalia”.
Belanda yang kala itu ingin menjadikan Tengku Abdurrahman sebagai Sultan penerus Kerajaan, menggunakan kekeuatan militer untuk merebut paksa alat kebesaran dari tangan Engku Putri dang mengangkat Tengku Abdurrahman sebagai Sultan. Inilah kali pertama Pelantikan Sultan tidak dilakukan secara murni menganut aturan adat dan tata cara Melayu.
Karena ingin tetap menguasai wilayah kerajaan yang dinilai Strategis, Inggris kemudian mengangkat Tengku Husin Long sebagai Sultan Johor di Singapura, hal ini kemudian diperkuat dengan perjanjian pada tahun 1824 yang dikenal dengan “Ánglo Dutch treaty” atau Traktat London yang isinya adalah pemagian wilayah kerajaan Riau – Lingga – Johor – Pahang, dinama wilayah Johor dan Pahang menjadi Wilayah kekuasaan Inggris dan Riau – Lingga menjadi wilayah kekuasaan Belanda.
Sejak saat itu terpecahlah wilayah kerajaan Riau – Lingga – Johor – Pahang dan mulai saat itu kerajaan kemudian bernama kerajaan Riau – Lingga.
Engku Putri Raja Hamidah wafat pada tanggal 7 juli 1844 dan dimakamkan di dalam besar atau di dalam kawasn istananya.***








