Transport Putih Tanjungpinang yang Tinggal Kenangan

BATAMCLICK.COM: Dulu, sekitar tahun 1990-an hingga awal 2000-an, jalanan Tanjungpinang tak pernah sepi dari lalu lalang angkutan kota—atau yang akrab disebut warga sebagai transport. Transport putih dengan strip warna dan nama-nama uniknya menjadi raja jalanan di Kota Gurindam.

Tak seperti di kota besar yang angkotnya beraneka warna, di Tanjungpinang hanya ada satu warna: putih. Hanya garis dan nama di bodi mobil yang membedakannya—Nova Indah, Wira Santi, Bayi Putra, Dua Saudara, hingga Pacitan Indah. Nama-nama yang dulu begitu akrab di telinga, kini nyaris hanya tinggal cerita.

Salah satu yang hidup bersama sejarah itu adalah Basyaruddin. Pria yang akrab disapa Basyar ini memutuskan pulang kampung dari Batam pada 1994. Dengan tabungan hasil merantau, ia membeli satu unit Suzuki Carry seharga Rp23,5 juta dan langsung mengubahnya jadi transport.

BACA JUGA:  Juan Mata Putuskan Bertahan di MU

“Setiap hari bisa bawa pulang Rp80 ribu, kalau Sabtu-Minggu bisa Rp130 ribu. Itu sudah bersih,” kenangnya, matanya menerawang jauh.

Kala itu, harga bensin hanya Rp750 per liter. Ongkos transport? Rp300 untuk dewasa, dan Rp150 bagi anak sekolah. Murah, tapi cukup untuk menghidupi keluarga dan membangun mimpi.

Tak sekadar alat angkut, angkot saat itu adalah panggung gaya dan kreativitas para sopir. Ada yang sengaja mengganti ban jadi lebih kecil agar terlihat ‘ceper’, ada yang memasang sound system yang memekakkan telinga, bahkan klakson telolet dalam versi mini pun turut meramaikan. Angkot bersih, rapi, dan modis jadi incaran. Penumpang rela menunggu angkot berikutnya jika yang datang tampak jorok dan kusam.

BACA JUGA:  Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi, Kepala BP Batam Jamin Kemudahan Investasi

Namun, waktu berjalan. Kredit motor dan mobil makin murah. Ekonomi membaik, tapi bukan bagi para sopir angkot. Anak sekolah kini lebih sering diantar atau membawa kendaraan sendiri. Para pekerja pun sudah punya kendaraan pribadi.

“Sekarang semuanya bawa motor, ada yang pakai mobil. Kami ditinggal perlahan,” ucap Basyar, suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam kenangan.

Pukulan paling telak datang saat pandemi COVID-19 melanda. Basyar dan banyak sopir lainnya terpaksa berhenti menarik penumpang. Bahkan saat keadaan mulai pulih, jumlah penumpang tak pernah benar-benar kembali.

Kini, Basyar lebih sering berada di rumah atau ke masjid saat waktu salat tiba. Angkotnya lebih banyak terparkir dari pada berjalan. “Kadang mangkal lama, tak ada yang naik juga. Ya sudahlah, lebih baik di rumah, bisa istirahat, bisa ibadah,” katanya pasrah.

BACA JUGA:  Ember Alat Serba Guna Bisa Angkut Air Dan Bisa Angkut Adukan Semen

Tak ada lagi suara dentuman musik dari angkot-angkot yang dulu penuh semangat. Tak ada lagi kontes diam-diam antar sopir soal siapa yang punya angkot paling keren. Sebab, seindah apapun tampilan mobil itu, penumpangnya sudah tak ada.

Barangkali benar kata Iwan Fals: “Mungkin nanti entah di tahun berapa, mobilmu menjadi barang antik.”
Dan Basyar, adalah satu dari sedikit orang yang masih menjaga kenangan itu—kenangan tentang masa di mana angkot bukan sekadar kendaraan, tapi bagian dari gaya hidup dan kebanggaan.(bosanto)