BATAMCLICK.COM: Pergantian tahun 2022, tinggal menunggu hitungan hari. Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu. Baru saja rasanya pergantian tahun 2022 kini berganti 2023.
Apa arti pergantian tahun saat ini ? Bila dikaitkan dengan dinamika politik Tanah Air, 2023 dapat disebut sebagai tahun politik.
Disebut sebagai tahun politik, alasannya, pertama, KPU sudah menetapkan peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebanyak 17 partai politik (parpol).
Kedua, daerah pemilihan dan jumlah kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota akan ditetapkan 9 Februari 2023.
Ketiga, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif dilaksanakan serentak pada 14 Februari 2024, atau lebih kurang 14 bulan lagi.
KPU juga sudah menetapkan tahun 2023 adalah tahun ditetapkannya calon legislatif dan calon presiden dan wakil presiden.
Khusus pencapresan pendaftaran akan dimulai pada Oktober sampai November 2023. Penetapan suara sah 20 persen sebagai syarat pengajuan capres dan cawapres, menggunakan perolehan suara Pemilu 2019.
Pencaloman Anggota DPD RI sudah dimulai sejak 14 Desember 2022. Sedangkan pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kahupaten Kota akan dimulai pada April hingga November 2023.
Catatan penting selain dimulainya Tahapan Pemilu oleh KPU, jauh lebih urgen dan perlu adalah memaknai Pemilu itu sendiri.
Sudah menjadi pengetahuan umum, Pemilu menjadi siklus lima tahunan pergantian pemimpin di level nasional hingga daerah, tak terkecuali Kepri atau Batam.
Ritus rutinitas lima tahunan itu sering kali menjadi ajang prosedural belaka. Tidak ada perubahan yang signifikan, substantif dalam menentukan pilihan politik.
Warga sudah dihadapkan kepada pilihan yang orangnya itu ke itu juga (baca DPR, DPD dan DPRD). Lu lagi, lu lagi. Padahal tidak berbuat apa-apa. Hanya 4D : datang, duduk, diam, duit.
Seakan-akan orang yang sudah duduk di kursi legislatif tidak boleh digeser atau digusur lagi. Pemilu belum dimulai, kursi-kursi sudah seakan berstempel ke parpol dan orang tertentu.
Bahkan klaim bagi-bagi kursi pun diembuskan di masyarakat dengan narasi-narasi seolah Pemilu 2024 sudah usai. Tidak, Pemilu baru mulai.
Di sinilah letak pentingnya keberadaan KPU atau Bawaslu sebagai wasit dan pengawas Pemilu, menjalankan fungsinya secara independen dan berintegritas. Tidak ikut melakukan kecurangan, atau menjadi kaki tangan parpol tertentu.
Oleh karena itu, warga masyarakat, kelompok sipil, jangan ragu-ragu untuk ikut mengawasi jalannya Pemilu agar tidak disalahgunakan oleh kekuasaan politik.
Atas dasar itulah, tulisan ini menjadi penting dan perlu disajikan kepada pembaca, terutama anak-anak muda atau kelompok melenial, agar Pemilu 2024 dibuat menjadi berbeda dan ada sesuatu, something, perubahan.
Perubahan dalam memaknai Pemilu sebagai cara demokratis untuk memilih pemimpin yang diharapkan mampu memberi harapan baru bagi warganya.
Warga sudah saatnya memiliki preferensi politik yang cukup, agar tidak memilih orang atau partai yang sekadar lips service. Bahkan, ada yang sama sekali tak pernah bersuara untuk kepentingan masyarakat yang diwakilinya.
Lembaga legislatif seperti paduan suara. Nyaris tak terdengar apa yang akan diberikan kepada warga setiap pembahasan anggaran. Bahkan, parahnya tak ada gagasan atau ide masa depan.
Pemilu seakan-akan dimaknai sekadar merebut dan meraih kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga atau kelompoknya saja.
Itu belum lagi cara untuk meraih kekuasaan yang tidak taat asas dan etika. Seringkali adagium, mencari kekuasaan dengan segala cara seakan menjadi pembenaran.
Hanya sejumlah kecil, warga yang berani “interupsi” atas pelanggaran etik yang dilakukan pejabat, misalnya, menggunakan fasilitas negara atau melibatkan birokrasi untuk memobilisasi dukungan.
Semua kekuatan sipil (ormas, paguyuban, organisasi profesi, okp, LSM) dikerahkan dan dimobilisasi dengan atas nama “proposal” kegiatan masyarakat. Kekuatan uang menjadi mesin penakluk bagi mereka yang bermental pragmatis dan tak menggendaki perubahan.
Saya meyakini, masih banyak kaum muda atau kelompok milenial dan kekuatan sipil lainnya, tidak mau larut dan terhipnosis dengan gendang kekuasaan berbasis materealisme, alias fulus.
Berdasar riset CSIS jumlah pemilih usia 17-39 tahun (milenial dan generasi Z) mencapai 54 persen dengan tingkat kehadiran di TPS-TPS lebih dari 90 persen.
Saatnya Pemilu 2024 keluar dari praktek lama, bertransformasi kepada yang baru, dengan menjadikan Pemilu sebagai sarana efektif melalukan perubahan menuju kebaikan dan kebahagiaan warga.
Saya meyakini, anak-anak muda, kaum milenial dan kelompok sipil yang kuatlah, yang dapat merubah wajah Pemilu 2024, menjadi harapan baru bagi warga.
*Surya Makmur Nasution, Ketua PKB Kota Batam