*) Candra Ibrahim
UDARA dingin. Hujan beberapa hari ini di Batam, bukan saja menyebabkan luapan dan genangan hingga banjir di banyak tempat, tapi juga makin menarik-narikku ke tempat ngopi.
Di bilangan Nagoya, aku berhenti di sebuah kedai kopi, setelah anak keduaku menghentikan mobil di sebuah simpang empat yang ramai.
Kami duduk lalu memesan makanan berbeda. Aku pesan prata telur, anakku memesan nasi briyani. Minuman kami sama, teh tarik. Lho, mengapa bukan kopi? Sebab masih terlalu pagi buat perutku yang masih kosong. Riskan mengisi perut kosong dengan kopi. Lambungku bisa protes.
Sambil menghabiskan makanan, anakku bertanya.
“Ayah. Itu rencana LRT, jadi ya?”
“Insya Allah. Katanya tahun 2024 mulai dikerjakan,” jawabku.
Aku menjelaskan bahwa Kepala BP Batam HM Rudi pernah menjelaskan kepada masyarakat dalam musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) bahwa Batam akan memiliki moda transportasi jenis light rail transit (LRT).
Menurut HM Rudi, rencananya, konstruksi LRT akan dimulai tahun 2024 dengan satu trase dulu, yakni Bandara-Sekupang melewati Batam Center. Stasiun antaranya ada di seberang Mega Mall dan Fly Over Laluan Madani (dulunya Simpang Jam). Trase berikutnya, Batuampar-Bandara.
LRT ini sedikit berbeda dengan mass rapid transit (MRT). Secara sederhana, LRT seluruhnya berjalan di atas permukaan bumi, di atas tonggak-tonggak beton yang dipasangi rel, sementara MRT sebagian masuk ke perut bumi (terowongan), membelah bukit, dan sebagian di permukaan. Kapasitasnya juga beda, MRT lebih banyak bisa memuat manusia, bisa 6 gerbong, sementara LRT lebih sedikit sekali angkut.
Perbedaan MRT dan LRT lainnya, kereta MRT berjalan di atas 2 rel dan menggunakan daya listrik dari bagian atas kereta sebagai sumber daya listrik, sama seperti pada KRL. Sementara, LRT menggunakan 3 rel dan sumber listrik dari bawah kereta.
Melansir dari Quora, LRT pertama kali kali digunakan di Manila, Filipina pada tahun 1984 setelah sebelumnya digagas oleh mantan Presiden Ferdinand Marcos. Sementara itu, MRT sendiri pertama kali hadir di Singapura pada tahun 1987.
“Wah, kalau begitu, nanti enak dong adek kalau pulang sekolah bisa naik LRT dekat bandara, trus pulang turun di Mega Mall,” sela anakku. Matanya berbinar. Dia membayangkan si kecil yang saat ini sudah kelas 1 SD akan mengikuti jejaknya bersekolah di SMAN 3.
“Haha. Insya Allah,” jawabku.
“Tapi bukan itu saja, nak. Kalau LRT udah jadi, orang bisa memilih naik itu dan meninggalkan mobil dan motor mereka dekat stasiun. Bisa juga diantar keluarganya ke stasiun. Jadi, bisa mengurangi jumlah kendaraan di jalan. Ngurangi macet. Jadi, selain kota terlihat lebih modern dan rapih, juga membantu masyarakat naik transportasi massal. Pastinya hemat BBM,” tambahku.
Aku lalu menambahkan bahwa kelak Bandara Hang Nadim pun akan lebih modern. Saat ini, pengerjaan terminal 2 sudah dimulai. Proyek bersama Incheon International (Korsel) dengan PT Angkasa Pura dan BP Batam itu diperkirakan akan rampung tahun 2025. Pengelolanya Incheon, salah satu pengelola bandara terbaik di dunia.
Pembuatan terminal 2 sebagai upaya BP Batam untuk mengantisipasi beberapa penerbangan internasional dari dan ke Batam. Terminal 1 yang sudah ada hanya mampu menampung 6 juta penumpang pertahun. Jika ditambah dengan terminal 2, maka bisa menampung 20 juta setiap tahunnya.
“Nantinya, mirip Changi-lah. Penumpang internasional dari Sumatera atau Jawa tak perlu transit di Singapura lagi. Tak perlu masuk ke kota juga, karena di bandara akan dilengkapi semua fasilitas bebas pajak. Ada hotel, kafe, restoran, toko-toko souvenir dan pakaian, macam-macam. Mau ekspor barang-barang ke LN, juga bisa langsung. Hang Nadim akan jadi pusat logistik juga,” jelasku. Entah dia paham atau tidak. Haha.
“Wah. Keren ya, Yah? Kalau tamat kuliah nanti, anak-anak Batam tak perlulah kerja di luar. Cukup di Batam saja!” serunya.
“Iyalah. Akan ada banyak lapangan kerja di Batam. Selama ini kan Batam sudah dipilih oleh 40 persen reponden survei se-Indonesia sebagai tempat untuk bekerja. Semoga ke depan lebih banyak lagi dan kalian anak-anak sini harus mengambil peluang,” kataku memberi semangat.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Batam Center, sebelum sampai di Kimia Farma, mataku tertuju pada komplek bisnis yang lagi happening di Batam; Thamrin City.
“Ini juga belum seluruhnya selesai. Yang selesai juga belum seluruhnya terisi. Ya, kan kita baru selesai menghadapi pandemi covid selama dua tahun. Mudah-mudahan situasi kembali membaik,” kataku.
Anakku hanya mendengarkan sambil tetap fokus membawa kendaraan. Tiba di depan Kimia Farma, mataku tertuju pada bangunan mangkrak yang dulu bernama Blisspark, dekat eks Studio 21. Baru ada satu tower kembar di sana, namun pekerjaan terhenti sejak beberapa tahun lalu. Mirip bangunan di simpang Baloi yang juga mangkrak. Entah siapa yang salah. Hehe.
Di simpang Indosat lama, menuju pertigaan Indomobil, kenanganku melayang ke puluhan tahun lalu. Dulu, ini salah satu simpang paling ramai di Batam. Namun sejak jalur belok langsung ditutup di depan Polsek Lubukbaja, situasinya berubah drastis. Hantaman resesi ekonomi tahun 2015 ikut memperparah. Kawasan itu sekarang sepi. Hanya ada satu-dua ruko yang masih ramai.
Berbelok ke simpang fly over Laluan Madani menuju Batam Center. Jalan terasa lapang sejak simpang Indosat. Berlawanan arah, jalan juga makin lebar menuju ke Batuampar dan ke Pelita. Begitu juga jika memutar ke arah Batuampar mulai dari Hotel Pacific. Begitupun sebaliknya ke arah Baloi. Ke Tiban dan Batuaji, juga sama. Jalannya sudah lebar. Situasi ini hanya terjadi sejak 2019, setelah BP Batam dipimpin Wali Kota Batam HM Rudi secara ex officio.
Sesampai di depan Edukits, mataku membayangkan sesuatu. Ya, LRT tadi.
“Coba bayangkan nanti nak, kalau kita pas jalan di sini, di atas nampak LRT melintas menuju Batuampar dan mampir di stasiun Laluan Madani. Jalan dari Laluan Madani ke Bandara dan Batu Besar pun sedang dikerjakan untuk menjadi lima lajur kanan dan lima lajur kiri. Keren ‘kan?”
“Iya, Yah. Mudah-mudahan cepat jalan LRT-nya,” ucapnya.
“Aamiin”.
Hotel, Mall, Apartemen Bertumbuh
Beberapa tahun terakhir, pertumbuhan hotel dan apartemen serta mall di Batam juga cukup pesat. Di Penuin ada Grand Batam Mall, i Hotel, Formosa. Di sebelah Nagoya Citiwalk juga bertumbuh hotel dan apartemen baru. Di Batam Center sendiri, ada Santika, Sahid, Mercure, dan One Batam Mall.
Pertumbuhan apartemen, hotel, dan mall itu tentu saja menjadi salah satu indikator bahwa Batam masih menjadi pilihan berinvestasi. Pertumbuhan ekonomi Batam tahun 2022 mencapai 6,84 persen, di atas pertumbuhan nasional (5,31 persen) dan Provinsi Kepri (5,09 persen).
Suara-suara sumbang tentu saja masih terdengar. Tapi tak bisa menutup kenyataan bahwa Batam semakin bergerak maju sebagai kota industri, perdagangan, dan pariwisata di rantau ini. Batam juga masih menjadi pilihan 40 persen pencari kerja di Indonesia. Yang sudah bekerja pun betah untuk tetap stay di Batam. Batam ibarat kota yang diimpikan, sekaligus juga dicaci (para haters).
Di sektor properti, sejak beberapa tahun lalu, BP Batam juga sudah menghentikan izin bagi landed house (rumah tapak). Untuk alokasi lahan baru, tidak boleh lagi membangun landed house. Pilihannya harus berbentuk apartemen. Ini untuk mengantisipasi semakin sempitnya lahan dan pertumbuhan penduduk. Saat ini penduduk Batam sudah mencapai 1,3 juta dari 2,5 juta penduduk Kepri.
“Tapi, Yah, mengapa masih banyak yang protes tentang pembangunan di Batam? Padahal kan bisa dilihat hasilnya (perubahannya)?” tanya anakku sambil tersenyum kecut.
“Oh, biasalah nak. Mana ada yang bisa menyenangkan semua orang. Pasti ada yang dianggap kurang. Ya, soal banjirlah, soal lapangan kerjalah, soal air bersih, soal ekonomi, soal macam-macam. Padahal itu semua kan sedang diupayakan, tapi tak bisa sim-salabim”.
Dia hanya diam. Mungkin berusaha memahami penjelasanku.
“Banjir juga bisa disebabkan curah hujan yang tinggi dan pembangunan yang sedang berjalan. Bisa juga karena drainase (di jalan umum dan komplek) yang belum baik, ditambah perilaku warga yang membuang sampah sembarangan hingga menutup parit,” kataku lagi.
Dalam catatanku, di Batam ini, ada jalan milik nasional, milik provinsi, milik Pemko Batam, dan milik BP Batam. Semuanya ada aturannya. Ada pembagian tugas dan kewenangan. Tidak bisa ditangani oleh yang bukan kewenangannya. Bisa jadi temuan BPK. Bisa kena pasal tentang membelanjakan uang negara/daerah yang tidak sesuai peruntukannya. Bisa kena pidana.
“Satu lagi sih, menurut Ayah, sejak izin alokasi lahan sampai mendirikan bangunan, serta syarat-syarat lain hingga analisa dampak lingkungan untuk perumahan, mall, hotel, apartemen, dan ruko yang sudah dikeluarkan itu, siapa yang mengawasi di lapangan? Bisakah dipastikan bahwa mereka membangun sesuai dengan aturan dan peruntukan? Misalnya, ukuran parit, saluran air, limbahnya, fasosnya, fasumnya, dan sebagainya. Itu juga potensi nambah masalah banjir lho,” jelasku.
Ah, makin berat diskusiku dengan anak SMA ini.
“Iya sih. Hehe,” jawab dia sekenanya.
“Sekarang, coba lihat sendiri. Kamu ‘kan lahir di pulau sebelah, tapi sejak bayi sudah di Batam. Lalu sekolah TK, SD, SMP, dan sekarang SMA di sini. Coba ingat-ingat bagaimana Batam dulu dan bagaimana hari ini. Beda tak?”
“Beda banget!” serunya. Kali ini agak kaget sambil banting stir. Rupanya jalan masuk ke komplek perumahan kami makin dalam lubangnya. ***
*) Penulis, pemerhati sosial-ekonomi.